Kamis, 26 Agustus 2010

Sosok seorang Ibu Keiko Senosoenoto

Dear Babymon,
hari ini, Rabu, tgl 25 Agustus mama sedih. Mama terima sms dari Opi tadi siang, isinya: San, Ibu Seno hari ini meninggal. Jam 8 malam umat daimoku sama2.
Mama shanso di depan Gohonzon untuk Ibu Seno, menitikkan airmata, merasa kehilangan...

Achhh Ibu Seno, sosok figurmu sebagai 'Ibu' dari umat BDI seluruh Indonesia, sosok seorang wantita tabah dan tegar pendiri BDI di mata para Bhiksu di Taisekiji.
Ketika aku kecil dulu, Ibu dan Bapak Seno selalu berdua dan memimpin pertemuan2. Kuingat aku duduk di lantai mendengarkan ceramah2 Ibu & Bapak Seno di mega mendung, mencatat sebanyak mungkin point2 bimbingan Ibu& Bapak Seno.
Ketika aku kecil dulu, aku aktif dalam tari Pom-pom, dan kuingat aku dan kakakku, Supi, pentas di Gelora Senayan, di dalam hall besar, kedua tangan kiri kanan memegang erat rumbai2 tali warna kuning dan menarikan Pom2 bersama puluhan anak2 kecil lainnya.
Dengan bangganya kita berpentas di hadapan Ibu dan Bapak Senosoenoto, berusaha mempersembahkan tarian yang bagus untuk mereka.
Ketika Bapak Seno meninggal, Ibu harus berjuang sendirian. Datanglah bermacam2 kesulitan yang tak terduga2, dari tangan kanan Bapak Seno sendiri yang menentang Ibu Seno.
Alangkah kejamnya masyarakat. Kasihan Ibu Seno, sudah ditinggal suami, dapat masalah besar bertubi2.
Umatpun pecah menjadi 2 kelompok. Aku dan keluarga adalah sebagian dari kelompok kecil Ibu Seno yang baru. Sebagian besar umat berpaling dari Ibu Seno, termakan oleh issue2 'beracun' dari mulut2 orang yang tamak akan kuasa dan keserakahan.
Setan2 berdatangan menyerbu Ibu Seno.
Tapi Ibu tetap maju. Kalau aku di posisi Ibu dulu, mungkin aku tidak akan kuat dan akan menyerah.
Tapi untungnya Ibu Seno bukanlah 'aku'.
Bukan hanya hantaman yang bertubi2 dari luar, Ibu juga menderita kanker. Selain terus memberikan ceramah2 dan wejangan2 dalam basis ajaran agama Buddha, Ibu harus menahan sakit dan terus menjalankan Chemotherapi, sampai rambutmu rontok habis dan suaramu hilang. Suaramu cuma seperti orang berbisik2 dan terlihat menahan sakit kalau engkau memaksakan tetap berceramah dengan bisik2 dan dibantu orang translate. Lama2 suaramu kembali lagi, tapi tidak seperti dulu. Ibupun perlu dibantu alat untuk berbicara. Sebelum hidupmu berakhir, aku mendengar kalau Ibu sudah merasakan 'harinya' sudah dekat dan memaksakan diri untuk sering masuk ke pertemuan2 wilayah untuk memberikan wejangan2 terakhirmu. Ibu sudah capai dengan penyakitnya.

Dari bimbingan pribadiku dengan Ibu bulan Februari 2010 kemarin di Jakarta, Ibu menceritakan 'sebagian kecil' perjuangan Ibu dalam membangun susunan. Aku akan ingat selalu bimbinganmu, Ibu...dan akan ku jalankan nasehat2mu...

Oh Ibu Senosoenoto...Ibu adalah seorang figur Ibu yang tegar dan kuat, bagaikan batu karang yang tetap berdiri kokoh walaupun dihantam ombak2 laut yang ganas dan besar.
Teladanmu dan semangatmu dalam membangun susunan BDI adalah hal yang tak terkira.
Dari apa yang engkau bangun, engkau sudah banyak 'menyelamatkan' banyak hidup perkawinan orang2, banyak orang yang berubah nasib berkatmu, banyak orang yang dari sedih merasa gembira karena mendengar wejanganmu, banyak orang yang sukses dan bahagia karena doa2mu.
Betapa besar jasamu untuk kita semua. Hidupmu engkau curahkan untuk umat2mu, uangmu engkau sumbangkan untuk pembangunan kuil, rumahmu engkau hibahkan untuk centrum BDI dan Joju Gohonzon.
Tanahmu di Mega Mendung engkau sumbangkan untuk membangun Kuil2 dan tempat Kensyu, tempat kumpul semua umat seluruh Indonesia setiap bulan.
Tanahmu berubah menjadi tanah Buddha, tempat dimana ajaran agama Buddha dibabarkan.
Rumahmu berubah menjadi rumah dengan suasana Buddha, dimana umat2 bisa berlutut di depan Joju Gohonzon untuk sembahyang demi merubah nasib.

Tanpamu di sisi keluargaku, mungkin keluarga kita sudah tercerai berai. Tanpamu, mungkin nasib kita sekarang akan berbeda sekali. Tanpa nasehat dan wejanganmu, mungkin aku sudah malas untuk membangun susunan di Jerman tempatku tinggal. Tanpamu, banyak umat yang sudah tercerai berai dan tidak bisa menerima karma buruknya sendiri. Engkau selalu memberikan harapan dan kekuatan ke setiap orang dengan wejangan2mu dan doa2 tulusmu. Tanpamu, BDI tidak akan ada....

Sungguh tak terkira apa yang telah engkau tempuh dan capai dalam hidupmu. Engkau telah banyak menyelamatkan hidup umat2mu. Sekarang engkau meninggalkan kita semua di dunia yang fana ini, tapi aku bersyukur karena engkau tidak lagi harus menderita merasakan sakit karena kanker yang menggerogoti tubuhmu.
Tubuhmu mungkin tidak lagi bersama kita, tapi jiwamu, semangatmu, dan impianmu tetap hidup selamanya di dalam hati masing2 umatmu.
Umatmu akan meneruskan apa yang telah engkau bangun.

Terima kasih, Ibu Senosenoto. Kuharap Ibu tenang di alam semesta dan akan cepat terlahir kembali di tengah2 kita, para umatmu. Sampai berjumpa kembali di dunia, Ibu.

With Love,
Susana Yolody-Gardoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar